Tiga Kewajiban, Satu Kehidupan
Menjadi dosen itu katanya mulia.
Tapi lama-lama, aku merasa mulia itu mahal sekali harganya.
Karena bukan hanya dituntut untuk mengajar,
tapi juga harus meneliti.
Lalu masih harus sempat “mengabdi pada masyarakat”—
meski masyarakat yang mana kadang bahkan tidak tahu kita datang.
Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Tiga jalan utama yang katanya harus seimbang.
Tapi siapa yang bisa berjalan di tiga arah sekaligus,
tanpa kehilangan satu pun langkah?
Di kampus, aku mencoba hadir di kelas.
Menyapa mahasiswa, bukan sekadar memberi tugas.
Tapi ketika aku hadir di seminar nasional,
jadi pembicara, bawa nama institusi—
mahasiswa cuma dapat link Zoom, materi di e-learning, dan Google Form.
Dan wajah mereka yang seharusnya kulihat tiap minggu,
akhirnya cuma kutatap lewat rekapan absensi.
Kadang aku berpikir:
Mungkin memang tak semua dosen harus dituntut bisa segalanya.
Biarkan ada yang memang ahli mengajar.
Ada yang memang jago riset.
Dan ada yang punya semangat tinggi ke desa-desa untuk mengedukasi masyarakat.
Kenapa kita harus menyeragamkan semua orang
dalam sistem yang tidak adil, bahkan bagi dosennya sendiri?
Jika Tri Dharma diwajibkan berjalan beriringan tanpa ampun,
maka yang jadi korban bukan hanya dosen…
tapi juga calon penerus bangsa yang kehilangan sosok penuntun.
Aku bukan sedang mengeluh.
Aku cuma sedang ingin didengar.
Karena di balik gelar akademik dan toga wisuda,
ada manusia yang kadang ingin sekadar punya waktu
untuk benar-benar hadir di depan kelas,
dan bukan hanya jadi pengisi layar virtual.