Jenggot dan Luka Kecil yang Tak Terlihat
“Taliban sekarang ya?”
“Belajar jadi teroris?”
“Jadi pengikut imam Iran?”
Kalimat itu mungkin dilontarkan sambil tertawa, sebagai candaan, sebagai lelucon antar teman. Tapi kalau semua ucapan itu aku simpan sebagai luka, mungkin hari ini aku sudah kehilangan banyak sahabat.
Jenggotku tumbuh bukan karena ingin tampil beda.
Bukan karena ikut kelompok tertentu.
Tapi karena ini salah satu dari sunnah Nabi — sesederhana itu.
Dan kalau sunnah Nabi justru jadi bahan olok-olok, lalu apa yang masih layak dipertahankan sebagai simbol kemuliaan? apa masih layak mengaku diri jadi salah satu ummatnya?
Aku ingat pernah ada tokoh besar berkata di depan umum,
“Semakin panjang jenggot, semakin goblok, karena otaknya ketarik ke bawah.”
Kalimat itu lucu — bagi sebagian. Tapi bagi yang mencintai Rasul-nya, itu menyakitkan.
Apakah mereka lupa…
Bahwa Rasulullah ﷺ sendiri berjenggot?
Bahwa Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, pun berjenggot panjang?
Bahwa ribuan ulama, dari Imam Malik sampai Syekh Nawawi, memelihara jenggot sebagai bentuk cinta dan penghormatan?
Jenggot bukan ukuran ketakwaan — iya, kita sepakat soal itu.
Tapi menjadikannya bahan hinaan juga bukan ukuran kecerdasan.
Jika tidak bisa meniru sunnah, setidaknya jangan mencelanya.
Karena yang kau hina mungkin bukan cuma jenggot… tapi kehormatan seseorang, dan lebih jauh lagi: kehormatan Rasul-Nya.
Dan bila tak ada hal baik yang bisa diucapkan, maka…
“فليقل خيرا أو ليصمت”
Katakan yang baik… atau diamlah.