Beberapa waktu lalu muncul diskusi menarik mengenai perizinan smart contract & blockchain di Instagram – yang menginspirasi tulisan ini.
Baru-baru ini pemerintah Indonesia menetapkan PP No. 28 Tahun 2025 lewat sistem OSS-RBA, secara eksplisit memasukkan blockchain, Web3, NFT, dan smart contract sebagai bagian dari izin usaha digital
Ada juga aturan turunan:
UU ITE (No. 1/2024) jadi basis kontrak elektronik, termasuk smart contract
PP PSTE (No. 71/2019) dan PP PMSE (No. 80/2019) mengatur sistem elektronik & transaksi
Permenkominfo No. 3/2021 menyebut blockchain teknologi legal dalam kategori risiko rendah-menengah usahanya
Lalu apa Artinya untuk Bisnis & Pengusaha?
Legitimasi Resmi Pengakuan blockchain & smart contract artinya aplikasi teknologi ini makin sah digunakan untuk kontrak otomatis
Perizinan Lebih Mudah Kategori usaha berbasis blockchain kini punya jalur izin jelas dalam OSS-RBA, khususnya untuk yang kategori risiko rendah-menengah. Contohnya: pengembang smart contract, node, dApps non-keuangan
Rangka hukum yang cukup kuat Smart contract dianggap sah selama memenuhi ketentuan dasar kontrak menurut pasal 1320 KUHPerdata, seperti kesepakatan & objektif, serta sesuai UU ITE dan PP terkait
Apa yang Perlu Diwaspadai?
Belum ada UU khusus smart contract Masih mengandalkan aturan umum sehingga belum ada pedoman standar sama seperti kontrak konvensional .
Kepastian hukum & perlindungan data Masih risiko pada validitas kontrak berdasarkan pasal subyektif/objektif KUHPerdata dan UU Perlindungan Data Pribadi
Spillover yurisdiksi dan keamanan Transaksi lintas negara, sistem otomatis, dan kerahasiaan data jadi tantangan baru bagi penegakan hukum
Kita cuma berharap bahwa pemerintah paham apa yang sedang mereka lakukan.
Karena terkadang kebijakan seperti ini, jauh panggang dari api.