Peci, Identitas, dan Hati yang Tertutup
Aku sering ditanya — atau kadang ditegur — kenapa shalat di masjid gak pakai peci.
Jawabannya sederhana: bukan karena gak hormat, bukan karena mau beda, tapi karena… gak nyaman. Sejak dulu gak suka ada yang nempel di kepala, bahkan topi pun jarang kupakai.
Tapi pertanyaan sebenarnya bukan soal kain di kepala, tapi soal isi di dalamnya.
Apakah tanpa peci, amal kita jadi kurang sempurna?
Apakah dengan peci, adab otomatis jadi lebih baik?
Karena sering aku lihat, justru yang paling rapi tampilannya, bisa jadi paling berisik komentarnya.
Yang bajunya islami, tapi tangannya ringan membuang sampah sembarangan.
Yang hafal dalil sunnah, tapi memilih puasa di hari yang diharamkan, atau malah tidak puasa di hari yang di sunnahkan.
Dan yang paling membuat miris:
Saat pelaku kejahatan masuk ruang sidang, tiba-tiba mengenakan jilbab dan kopyah. Seolah atribut bisa menutupi kelakuan buruk yang sudah dilakukannya.
Islam gak pernah melarang orang tampil saleh — justru mendorongnya. Tapi yang dilarang adalah berpura-pura.
Karena dalam satu hadis disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Jadi bukan soal menutup kepala, tapi menutup hati dari kesombongan.
Bukan soal tampilan suci, tapi tentang hidup yang tidak menyakiti.
Karena peci bisa dibeli di toko, tapi hati yang jernih… hanya bisa dicuci dengan kejujuran dan niat yang bersih.