Fatih dan Hantu dalam Pikiran
Sore itu Fatih nonton film horor. Judulnya lupa apa. Tapi yang jelas ada pocongnya.
Beberapa menit kemudian, dia nempel ke aku. “Abi, aku takut…”
Aku tarik napas pelan. Ini momen bagus buat ngobrol, bukan buat menertawakan.
“Fatih, kamu tahu nggak… Hantu itu sebenernya nggak ada,” kataku pelan.
Dia ngangkat alis, bingung. “Tapi tadi aku liat di film… serem, Bi.”
Aku senyum. “Nah itu dia. Yang kamu liat tadi itu bukan hantu beneran. Itu cuma bentuk dari rasa takut kamu sendiri. Otak kamu nyimpen gambarnya, terus pas kamu takut, dia keluarin bentuk yang sama. Kayak pocong tadi.”
Dia makin diem. Kayaknya mikir.
“Dalam Islam,” lanjutku, “kita emang disuruh percaya sama hal ghaib. Itu ada di surat Al-Baqarah ayat ketiga. Tapi ‘ghaib’ itu artinya bukan hantu-hantuan kayak di TV. Ghaib itu sesuatu yang kita nggak bisa liat, tapi wajib kita yakini. Kayak Allah. Malaikat. Kita nggak pernah liat langsung, tapi kita yakin mereka ada.”
Fatih manggut-manggut. Tapi matanya masih keliatan was-was.
“Kalau yang bentuknya aneh-aneh, misalnya bisa menakut-nakuti atau ngerjain orang, Islam nyebutnya jin dan setan. Mereka ada, tapi Allah udah ngajarin kita cara biar nggak diganggu. Baca doa, dzikir, shalat, dan mikir yang baik-baik.”
Aku elus kepalanya. “Kamu tahu nggak, pikiran itu kuat banget. Kalau kamu isi dengan hal serem, ya bakal muncul rasa takut. Tapi kalau kamu bayangin hal baik, misalnya Fatih ranking satu, atau Fatih bisa hafal surat Al-‘Alaq… pasti rasa takutnya ilang, diganti rasa senang.”
Dia senyum kecil. “Berarti kalo aku takut, aku harus mikir yang bikin aku bahagia ya, Bi?”
“Betul, Nak. Dan inget, Allah itu lebih besar dari rasa takut kamu. Jangan khawatir. Selama kamu inget Allah, insya Allah nggak ada yang bisa ganggu kamu.”
Malam itu, Fatih tidur sambil peluk Qur’an kecilnya. Dan aku sadar, kadang momen kecil kayak gitu yang bikin kita belajar cara menenangkan diri—bareng anak, bareng iman.