Newsletter
Newsletter

Surat Yusuf: Bukan Tentang Wajah, Tapi Tentang Wibawa

Scroll down
Akhmad Khudri, M.Kom
Akhmad Khudri, M.Kom
I`m
  • Residence:
    Palembang
  • Level of Study:
    Doctoral
  • Research Interest:
    Blockchain

Kalimat Yang Tertinggal di Tengah Surat

 

Tilawah surat-surat panjang yang isinya penuh kisah dan hikmah memang kadang suka gitu, awalnya semangat, sudah berniat “kali ini aku khatam Yusuf dalam satu duduk!” Tapi di tengah-tengah justru mulai ngos-ngosan, lidah keseleo, nada ayat mulai ke mana-mana, apalagi kalau pas “udah ngerasa tahu cara bacanya”, eh ternyata makhraj-nya beda, i’rab-nya keliru, atau waqaf-nya tidak tepat… langsung ngedrop nih mental, hahaha…

 

 

Itu memang sudah jadi bagian dari adab Qur’an:

 

 

“Kamu tidak bisa buru-buru saat menyelami kedalaman.”

Padahal Al-Qur’an sendiri bilang di awal Surat Yusuf:

 

“Laqad kāna fī qaṣaṣihim ʿibrah…”Sungguh dalam kisah mereka itu ada pelajaran mendalam…

Jadi mari kita belajar bukan cuma terjemahannya, tapi juga makna suratnya.

 

Banyak yang membaca Surat Yusuf dengan harapan sederhana:
Semoga anakku tampan seperti Nabi Yusuf.
Padahal ketampanan itu hanya disebut sekali.
Sementara kisah kesabaran, keikhlasan, dan kedewasaan ruhani Nabi Yusuf, diceritakan dari ayat pertama sampai terakhir.

 

Jika benar ingin anak seperti Yusuf, maka ajarkanlah ia:

  • Cara bersikap ketika dikhianati oleh orang terdekat.

  • Cara menjaga diri ketika digoda oleh yang berkuasa.

  • Cara berkata jujur ketika dusta lebih aman.

  • Cara bersabar dalam penjara, tanpa kehilangan iman.

  • Dan yang paling sulit: cara memaafkan orang yang menyakitinya, tanpa mengungkit masa lalu.


Surat Yusuf dimulai dengan mimpi—tapi bukan mimpi biasa.

 

“Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud padaku.”
Dan dari satu mimpi itu, dimulailah perjalanan seorang anak menuju kedewasaan yang tak main-main.

Ia dilempar ke sumur, dijual seperti barang murahan, digoda wanita bangsawan, dipenjara karena menjaga kehormatan, lalu akhirnya… diangkat menjadi penjaga negeri.

 

Tapi coba lihat…
Di sepanjang hidupnya, Yusuf tak pernah menyalahkan takdir.
Ia tidak menyimpan dendam.
Tidak menuntut.
Tidak memanipulasi.


Yusuf adalah wajah indah dari jiwa yang telah ditempa.

 

 

Kalau hanya karena tampan, maka tak ada bedanya ia dengan bintang film.


Kalau kamu tilawah Surat Yusuf dan tersendat,
kalau kamu baca dan merasa berat di tengah jalan,
mungkin itu karena kamu sedang berhadapan bukan dengan cerita biasa,
tapi dengan kisah manusia yang hampir sempurna adabnya,
dan Allah ingin kamu tidak hanya membacanya…
tapi menjadi saksi yang menyerap hikmahnya.

 


Sebagai seorang ayah, kamu tidak butuh anak yang hanya elok wajahnya.
Kamu butuh anak yang mau tetap bersujud dalam tiap kesulitan, dan tidak bersorak seraya lupa diri ketika sedang berkuasa.


Dan untuk itu… dirimulah yang harus terlebih dahulu jadi seperti Nabi Ya’qub.

Ayah yang sabar, yang menangis dalam diam,
yang tidak kehilangan harapan meski kehilangan anak.
Yang ketika kabar buruk datang, tak langsung panik—tapi berkata:

 

 

“Fasabrun jamil.” (Maka kesabaran yang indah adalah pilihanku).

Dan tilawahmu yang kadang tertatih, justru itu paling berharga di sisi Allah.
Karena kata Nabi ﷺ:

 

 

“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama malaikat mulia. Dan orang yang membaca Al-Qur’an sambil terbata-bata, dan merasa kesulitan, maka ia mendapat dua pahala.” (HR. Bukhari & Muslim)

© 2025 All Rights Reserved.
www.elpeef.com
Write me a message
Write me a message

    * informasi kamu akan disematkan dalam opini yang dikirim