Apa Allah Ada di Hatimu?

Akidah Sedari Dini

“Bi… Allah itu di mana?”

Pertanyaannya datang begitu saja.
Bukan di masjid. Bukan setelah kajian.
Tapi di dalam mobil, sambil nunggu lampu merah.

Aku sempat terdiam.
Bukan karena aku tak tahu jawaban. 

Tapi karena pertanyaan itu seperti suara kecil yang datang dari tempat yang dalam, dan aku takut menjawabnya terlalu dangkal.

Anakku belum hafal banyak doa,
belum paham apa itu rukun iman.
Tapi dia sedang belajar percaya.

Dan aku, di kursi kemudi itu, sedang dihadapkan pada ujian paling sulit:
menjawab tanpa merusak rasa kagumnya pada Tuhan.

Aku akhirnya jawab,
pelan-pelan… seperti merangkai kata dalam doa.

“Allah itu nggak kelihatan, Nak. Tapi Dia yang bikin semua ini ada.
Dia yang tahu kamu lapar, sebelum kamu bilang.
Dia yang jaga kamu waktu tidur,
dan yang bisikkan ide ke hati kamu buat nanya kayak sekarang.”

Dia mengangguk.
Lalu nanya lagi: “Jadi Allah bisa denger apa aja?”

Aku bilang, “Iya. Bahkan yang kamu nggak sempat bilang.”

Di situ aku merasa…
bukan aku yang sedang mengajarkan tauhid.

Tapi aku sedang diajak mengingat lagi,
apa itu percaya… dari anak kecil yang belum tahu banyak, tapi berani bertanya.

Dan aku sadar,
mungkin iman itu tidak harus selalu diyakinkan dengan dalil.
Kadang cukup dengan rasa ingin tahu yang tulus—dan keberanian untuk bertanya.

Yang membuatku diam bukan pertanyaannya.
Tapi karena aku sadar… sudah berapa lama aku tidak bertanya hal yang sama pada diriku sendiri?