Belajar Dari Sejarah
Bagi sebagian orang, dua adzan sebelum shalat Jumat dianggap aneh, bahkan ada yang menyebutnya “bid’ah.”
Tapi sejarah tak pernah berdusta.
Di zaman Rasulullah ﷺ dan Sayyidina Abu Bakar serta Umar, adzan untuk Jumat memang hanya satu—yaitu ketika waktu dzuhur tiba.
Namun saat Islam meluas dan penduduk Madinah bertambah,
Sayyidina Utsman bin Affan—khalifah ketiga yang penuh kebijaksanaan—menambahkan satu adzan sebelum masuk waktu dzuhur, bukan untuk menggantikan,
tetapi untuk mengingatkan.
Agar umat bersiap. Agar pasar-pasar ditutup. Agar wudhu disegerakan.
Agar hati yang lalai sempat terbangun sebelum khutbah dimulai.
Adzan pertama itu dikumandangkan di tempat bernama Zaura’, sebuah lokasi yang ramai kala itu.
Lalu sudah tepatkah kita melakukan shalat sunnah setelah adzan pertama berkumandang? Karena seperti penjelasan di atas, sejatinya adzan pertama hanya untuk mengingatkan, bukan pertanda waktu dzuhur masuk. Adzan kedua yang seharusnya jadi pertanda waktu dzuhur telah tiba, biasanya setelah itu khatib langsung naik mimbar untuk berkhutbah, maka dianjurkan untuk para jamaah mendengarkan dengan seksama, bukan lagi melakukan shalat sunnah.
Mirip dengan apa yang kita dengar setiap hari menjelang Subuh di beberapa tempat, tidak di semua masjid, ada dua adzan dalam satu waktunya.
Adzan pertama—menghidupkan malam, membangunkan jiwa untuk tahajud, dan memberi isyarat waktu sahur.
Adzan kedua—pertanda subuh telah datang, tanda batas malam dan awal siang.
Adzan bukan sekadar seruan. Ia adalah alarm ruhani.
Ia mengajarkan bahwa dalam satu waktu, bisa ada dua makna.
Yang satu untuk persiapan,
yang lain untuk pelaksanaan.
Maka jangan heran jika dalam hidup pun begitu:
Ada panggilan yang datang bukan untuk segera dikerjakan,
tapi untuk menyadarkan, mempersiapkan,
sebelum “waktu panggilan” yang sesungguhnya tiba secara cepat atau pelan.